Senin, 08 Desember 2014

AsiaLOVEWorks


YES, at the first time we meet, I looked at you without any reasons. I don’t know why it could be happened to me. I don’t know you yet. But I feel something that hard to describe. Setelah itu pun aku tidak mengerti, mengapa seolah perlakuanmu berbeda terhadapku. Aku merasakan lirikanmu, pandanganmu, gesture tubuhmu, raut mukamu terhadapku. Lima hari adalah waktu yang paling singkat untuk bisa merasakan apa yang namanya cinta. Aku pun tidak percaya akan hal itu.


>> One
Setelah selesai melakukan berkumpul dengan small group, trainer pun menyuruh kita semua bangkit dengan membawa kursi masing-masing untuk membentuk barisan seperti biasa yaitu deretan beberapa shaf dengan posisi kita menghadapnya. Kebetulan kelompok kita berada tidak jauh dengan panggung tengah. Kamu mengambil posisi tepat di barisan depan dan tengah, tepatnya posisi yang paling aku hindari. Dan posisiku yang berada di belakang kananmu sangat memungkinkan untuk bergeser pindah maju ke depan yaitu bersebelahan denganmu. Depanku pun sebenarnya belum ditempati oleh siapapun. Ada tiga cara untuk mengisi kekosongan di depanku. Pertama, aku maju bersebelahan denganmu dan berhadapan sangat dekat dengan trainer. Kedua, kamu bergeser ke kanan tepatnya di depanku. Ketiga, peserta lain itu yang bergeser ke kiri. Cara pertama tidak aku ambil karena duduk di barisan terdepan dan berhadapan langsung dengan trainer (pengajar, pembicara, atau apapun istilahnya) adalah hal yang paling aku hindari dalam hidupku. Cara kedua, tetapi kamu pun diam saja. Cukup lama posisi itu kosong. “Kenapa ini orang bukannya geser aja,” pikirku. Seolah-olah kamu memintaku dengan halus agar aku bergerak maju menempati posisi kosong itu. Maaf, aku memilih untuk berada di belakangmu. “Mas, maaf, tolong geser aja ke sini…hehehe” sembari menepuk pundakmu. Dan dengan tersenyum pun kamu bergeser ke depanku. “Makasih lho,” timpalku sambil tertawa.

>> Two
Bersambung dengan poin One, trainer pun melanjutkan pekerjaannya. Setelah trainer selesai menjelaskan materi baru, setiap peserta akan melakukan practice sesuai dengan materi. Pada practice kali ini trainer meminta kita untuk mencari seorang partner. Trainer menginstruksikan kita semua untuk beranjak serentak dan langsung mencari partner. Kamu pun langsung berbalik badan menghadapku. Dan sayangnya, aku sudah terlanjur menoleh ke samping kiri bukan tetap diam dan mendapatimu. Dari sudut mata, aku tahu bahwa kamu memang ingin mengajakku. Penyesalan datang belakangan, aku tidak mengira bahwa kamu langsung berbalik badan. Karena pada umumnya, peserta akan mencari partner yang berada di sebelahnya. Aku senang, kamu sebenarnya memilihku. Tetapi yang belum bisa aku ‘baca’ adalah alasan kamu berbalik badan ke arahku.

>> Three
Di hari menjelang Graduation, kalau tidak salah hari Jumat. Pada sesi practice terakhir, semua peserta diminta untuk membentuk lingkaran besar mengelilingi ruangan. Posisiku cukup jauh denganmu saat itu. Kita semua diminta untuk saling bergandengan tangan. Setelah itu trainer akan memberikan sebuah rangkaian peristiwa dan meminta kita untuk memikirkannya. Sangat menguras emosi seperti biasanya. Ketika trainer selesai bercerita, dia meminta kita untuk menghampiri orang yang menurut kita paling istimewa dan berarti. Seketika aku berpikir siapa yang akan aku hampiri. Sempat ada feeling untuk menghampirimu, tapi aku masih ragu akan perasaanku ini. Dan dengan sudut mataku, sepertinya kamu ingin menghampiriku. Posisi badan dan wajahmu yang memberitahuku. Tetapi kamu tidak jadi menghampiriku, karena beberapa orang sudah mengarah kepadamu. 

>> Four

Saat kita makan bersama small group di sebuah resto cepat saji di daerah Jakarta Selatan, kamu datang paling belakangan. Pada saat kamu datang, aku sudah berada di customer line. Belum sampai membentuk antrian, karena beberapa anggota grup masih sedikit berkumpul untuk pilih-pilih makanan. Jarak customer line dengan tempat duduk kita tidak jauh, jadi aku masih bisa mendengar percakapan di sana. Kamu pun datang dan melihat dompet wanita berwarna hijau lumut di meja paling pinggir. Kebetulan salah satu rekan wanita kita mengambil tempat berhadapan dengan si pemilik dompet. Kamu pun bertanya kepadanya, “Siapa di sini?” (Karena aku yakin, dari jawaban itu bisa menentukan posisi dudukmu. Hanya ada 3 wanita dalam grup kita. Aku, leader kita, dan si rekan yang kamu tanyai. Kamu tidak menyukai program kursus pelatihan ini, otomatis juga tidak akan menyukai Leader kita.) Dia menjawab, “Elfi.” Selanjutnya aku tidak memperhatikan apa yang kamu lakukan. Hal yang aku tahu kemudian adalah kamu sudah berada di kerumunan grup kita dekat customer line. Pada saat ingin membayar pesanan kita semua, CS nya bertanya pembayaran masing-masing atau disatukan. Aku bilang, “Masing-masing Mbak.” Tetapi mayoritas laki-laki berseru, “Digabung.” Aku komentar, “Oke, nanti tinggal dihitung.” Dan kalian para lelaki berlomba untuk mengeluarkan pendapatan masing-masing. Aku menyerah dan beringsut mundur. Komentarmu cukup pedas, “Cewe emang gini kalau soal pembayaran.” Aku tidak menghiraukan karena akan memakan waktu untuk menjelaskannya. Aku pun beranjak ke toilet dan ketika kembali makanan sudah tersedia di meja. Kamu pun ternyata mengambil posisi di ujung meja sebelah kananku. Setelah mendapatkan pesananku, aku pun cukup tidak menyadari beberapa kecil. Kamu yang mengingatkan dalam bentuk pertanyaan. “Mana minum lo Fi?” tanyamu. Aku pun tersadar, “Lho kurang berarti ya. Ini punya siapa?” tanyaku sembari menunjuk minuman Cola sebelah kiriku. Karena pesananku minuman Cola seperti itu. Begitu rekan sebelah kiriku menjawab, “Saya,” aku pun beranjak ke customer line untuk meminta minuman yang kurang. Begitu aku duduk dengan membawa minuman itu kamu pun bertanya lagi, “Nggak pake saos?”. Seperti orang tolol aku pun menjawab, “Oh iya lupa.” Tapi sebelum aku beranjak, kamu sudah beranjak berdiri. Otomatis aku komentar (walaupun sepertinya kamu tidak dengar), “Eh nggak usah.” Aku pun beranjak dan benar saja kamu pergi ke tempat saos. Begitu aku menghampirimu, aku bilang, “Eh nggak perlu. Biar gw sendiri.” Walaupun kamu sudah mengambilnya, aku tetap mengambil beberapa cup saos. Kamu pun pasti membutuhkannya juga. Dan ketika aku duduk, ternyata kamu meletakkan cup saos itu di antara makanan kita bukan di hadapanmu sendiri. Setelah selesai makan, biasanya aku memang tidak merapihkan bekas makan karena nanti akan dikerjakan oleh petugas. Akan tetapi kamu tidak seperti itu. Kamu pun merapihkan bekas makananku dan menyatukannya dengan milikmu lalu kamu letakkan di pojok kananmu. Yang artinya bagian meja depan ku, depan mu dan sudut antara kita bersih dari sisa makanan. Bahagia itu sederhana. Sesederhana perhatianmu kepadaku itu.

>> Five
Masih dalam moment makan bersama di resto cepat saji itu. Kita sempat berfoto bersama. Dan seperti biasa, setelah selesai sesi foto-foto adalah untuk membagikan hasilnya ke semua anggota. Ribut tentang media sosial, aplikasi chat yang memungkinkan proses share photo jauh lebih mudah dan cepat. Aku sempat berkomentar, “Media sosial pada punya nggak” tanpa bermaksud serius menanyakannya ke semua orang. Karena ada beberapa anggota grup kita yang cukup berusia dimana umumnya mereka tidak akrab dengan media sosial. Kamu pun akhirnya bertanya secara personal dengan nada cukup pelan kepadaku, “Punya Path nggak?” Aku pun menjawab dengan tersenyum, “Nggak.” Kamu pun bereaksi, “Yah.” Aku pun diam saja karena tidak merasa perlu menjelaskan alasannya. Handphone ku belum sejenis Android jadi wajar kalau memang tidak punya. Aku cukup heran, kenapa malah bertanya media sosial yang hanya bisa sangat sedikit contact friend-nya. Jumlah friend di Path dibatasi per akun karena memang slogan mereka “Private Share” bukan seperti media sosial lainnya. Biasanya dengan orang asing yang baru kenal, media sosial yang ditanya adalah Facebook. Atau maksimal bertanya akun Twitter-nya apa. Karena dua media sosial itu yang paling banyak pengguna dan bisa tidak terbatas contact friend-nya. Agak heran dengan pertanyaanmu. “Mau tau aja hidup gw kaya apa,” pikirku. 

>> Six

Masih pada waktu dan tempat yang sama. Di tengah kegiatan makan, Leader yang duduk cukup di tengah memulai pembicaraan. Seperti halnya setelah selesai practice, pasti hasilnya didiskusikan dalam kelompok. Kita diminta untuk bercerita lagi ataupun mengomentari practice tersebut. Dan seperti biasa, Leader melemparkan pertanyaan siapa yang mulai. “Hayo, siapa yang mau sharing tentang latihan tadi?” tanyanya. “Ngomong gih,” katamu ke arahku. (Oh iya, lupa. Entah bagaimana kenapa jarakmu lebih dekat ke aku daripada ke rekan wanita kita itu. Padahal kamu berada di antara kami berdua. Jadilah kalau kamu berbicara, memang ditujukan kepadaku.) Aku belum selesai makan dan tidak terbiasa bercakap saat makan, jadi aku hanya komentar, “Ih, kenapa gw deh.” Percakapan grup pun mulai bergulir. Setiap salah seorang selesai share, Leader pun bertanya kembali siapa yang belum atau mau share. Tidak hanya sekali, kamu selalu melempar ke arahku dengan nada yang cukup keras. “Nih si Elfi belum nih.” Dan sejenisnya. Padahal si rekan kita yang berada di sebelah kananmu juga belum bicara. Tapi kamu tidak melempar giliran ke arahnya. Lucunya kamu juga belum share. Komentar terakhirku tentang kelakuanmu, “Kenapa mesti gw sih. Lo kan juga belum deh.” “Lah, emang lu belum kan,” sanggahmu. Saat Leader menyadari aku belum angkat bicara, “Nah, Elfi. Gimana?” Kamu pun berkomentar, “Tuh kan.” Aku pun hanya mengumpat dalam hati, “Sial. Males bener deh.” Dan aku pun tidak berbicara panjang seperti biasanya. Sharing ku pun datar. “Ya begitu. Ada beberapa yang bener, tapi ada juga yang yaaaa nggak.” Mulutku masih ada tugas mengunyah, tangan juga masih bertugas mengambil makanan dan menaruhnya ke dalam mulut. Kondisi seperti itu yang membuatku malas berbicara banyak. Entah mengapa aku yakin bahwa kamu ingin mendengarku berbicara banyak.

>> Seven
Pada hari yang sama. Aku memang selalu segera pulang setelah kelas selesai. Tidak seperti kebanyakan peserta yang masih menyempatkan untuk bercengkrama dengan peserta lainnya. Polaku selalu sama dari hari pertama, yaitu langsung segera ambil tas dan keluar menuruni tangga keluar. Biasanya aku tidak berjumpa dengan peserta lain setelah melewati security. Saat menunggu taxi di seberang sampai taxinya ada, biasanya hanya aku peserta di luar sana. Tapi malam itu, ternyata kamu pun keluar. Saat sedang menunggu taxi, aku pun melihat sosokmu. Aku pikir kamu langsung menuju mobil (bukan motor karena parkiran motor ada di dalam bukan di luar dekat security) karena sama sekali tidak membawa tas. Hanya sosokmu yang sedang merokok keluar area parkir mobil dekat security. Kamu pun tidak memanggilku. Melambaikan tangan pun tidak. Dan aku pun tidak memanggilmu. Keseringan aku menoleh ke arah datangnya kendaraan bukan melihat ke depan (ke arahmu). Jadi aku pun tidak tahu apakah kamu melihat ku atau tidak. Kamu masih di luar sana sampai aku masuk ke dalam taxi. Agak heran. “Ngapain dia ya. Ngambil mobil juga nggak. Kalau cuma pengen ngerokok kan bisa di halaman dalem sana. Masa iya nunggu jemputan,” pikirku. 

>> Eight
Pada sesi practice di hari-hari awal program, lupa tepatnya hari apa, Trainer meminta seluruh peserta membuat empat barisan kursi dimana barisan pertama dan kedua membelakangi panggung sedangkan barisan ketiga dan keempat tetap menghadap panggung. Jarak barisan kedua dan ketiga diperbesar kira-kira setengah meter. Peserta yang duduk di barisan pertama dan kedua dijadikan kelompok B sedangkan sisanya kelompok A. Kelompok A diminta untuk berkumpul di ujung barisan. Tugasnya sederhana yaitu setiap peserta diminta untuk berpindah dari ujung satu ke ujung lainnya dengan gaya masing-masing. Aturannya cukup sederhana tapi mengasah kreativitas, tidak boleh ada pengulangan gaya baik peserta kelompok A maupun B. Kebetulan kamu kelompok B dan aku kelompok A. Kelompok A terlebih dahulu melaksanakan tugasnya. Setelah selesai, peserta kelompok A diharuskan untuk duduk di barisan kedua dan ketiga tadi. Aku pun duduk di barisan ketiga menghadap ke panggung. Tiba saatnya giliran kamu untuk unjuk gigi. Gayamu berlutut di depan orang yang duduk di deretan kedua dan ketiga. Gayamu seperti pria yang sedang berlutut melamar kekasihnya. Tetapi tidak semua orang kamu hampiri. Kalau dilihat dari pola kursi yang kamu hampiri, aku adalah salah satu orang yang akan berhadapan denganmu. Anehnya begitu sampai di (hampir) depanku, dalam hitungan kurang dari 1 detik kamu pun merubah haluan ke sebelah kananku. “Mestinya elu ke gw deh bukan ke sebelah. Kenapa jadi nggak biasa ini orang?” pikirku lucu. Kebetulan juga karena situasi kelas memang sudah riuh canda sejak kelompok A bermain, jadilah aku tertawa setelah kamu berlutut di depan perempuan sebelahku itu. Hahahaaa kenapa malah berlutut di sana? Kalau memang mestinya berlutut di depanku aneh ya? Ada masalah? Malu? Kenapa tidak biasa aja sayangku.

>> Nine
Hari Sabtu, sehari sebelum prosesi saat istirahat kedua di siang (menjelang sore) hari. Grup kita kembali ke resto cepat saji seperti hari Jumat sebelumnya. Begitu sampai sana, kamu pun berbicara di depan kita (seluruh anggota kelompok), “Gw mau ngopi aja. Kalau mau pada makan ke sini, gw ke seberang dulu nanti nyusul lagi ke sini.” Tak ayal, rekan wanita kita juga punya keinginan yang sama. Salah satu anggota bertanya, “Apa mau ke seberang aja? Gw sih nggak laper.” Gw pun mengangkat bahu karena sudah makan saat sesi pertama. Tetapi ada beberapa anggota yang memang ingin makan. Akhirnya kita terbagi dua yang ingin makan tetap di resto cepat saji dan yang tidak ingin makan ikut ke seberang. Aku pun karena masih kenyang memutuskan untuk ikut ke seberang. Begitu sampai di dalam Starbucks dan sudah memesan, kamu pun mempersilahkan kita semua naik duluan ke serambi luar. Aku pun mengambil posisi menghadap area parkir tempat pelatihan kita supaya bisa tahu sudah berapa banyak peserta yang kembali. Kebetulan posisi itu paling pinggir. Depan dan sebelah kanan persis ku kosong. Rekan wanita kita duduk beda 1 kursi dengan ku sebelah kanan. Kamu datang dan mengambil tempat di depanku. Obrolan pun mengalir. Sampai pada topik soal Graduation besok. Dari obrolan dan info yang beredar, saat Graduation itu sangat bebas perempuan-lelaki bisa cipika-cipiki, rangkulan, peluk-pelukan. “Dia nih yang gw concern-in” katamu sambil menunjukku. Karena dari semua wanita di grup kita, aku satu-satunya anggota yang berjilbab (rekan wanita kita menganut kepercayaan yang beda denganku wajar jika tidak berjilbab). Aku pun cukup heran mengapa kamu malah mengkhawatirkanku. “Kan nanti bisa aja kaya gitu,” lanjutmu. Salah satu teman kita pun bertanya, “Kenapa malah lo khawatir sama Elfi?” Kamu pun tidak mengindahkan (entah tidak dengar atau apa) pertanyaannya. Kamu malah berbicara, “Temen gw aja yang udah punya suami bisa cipika cipiki sama cowo deh. Peluk-pelukan gitu. Yang udah punya istri juga cuek aja kayanya. Karena udah kaya keluarga sendiri katanya.” Komentarku pun datar, “Nggak gitu juga kan.” Cukup heran karena menurutku situasi dan kondisi kaya yang kamu pikirkan belum tentu sama dengan Graduation kita. Orang lain pasti akan menghormati jilbabku dan tidak akan melakukan hal-hal yang tidak sopan. Tapi tidak apa, kamu sudah mengkhawatirkan diriku. 

>> Ten
Hari Minggu, beberapa jam sebelum sesi terakhir menjelang Graduation, kita diberikan waktu istirahat cukup lama. Kelompok kita lagi-lagi memilih untuk makan di resto cepat saji. Bedanya hanya di outdoor, sedangkan sebelumnya di indoor. Kamu hanya pesan kopi dan menikmati rokok. Aku lebih memilih untuk makan secara normal saja. Posisi kita tidak sedekat sebelumnya. Cukup jauh. Kamu berada di serong kiri depanku, Leader di sebelah kiriku persis. Leader seperti biasa melemparkan kalimat, “Siapa yang akan share lagi di sini?” Aku pun menyeletuk, “Kalau ditanya, what do you want, I want to sleep. Pengen ada kasur, bantal di sini. Kalau perlu gulingnya juga.” Keseringan malah membahas soal perkiraan Graduation seperti apa, sesi terakhir sebelum Graduation membahas apa. Di saat pembicaraan mulai menipis dan sedikit sunyi, Leader pun bertanya lagi, “Hayo ngebahas apa lagi nih kita.” Kamu pun angkat bicara, bertanya akan esensi dari pelatihan ini apa. Penjelasanmu tentang umumnya lembaga pendidikan sepertinya kurang bisa diserap sama Leader. Walaupun kamu sempat menggunakan analogi dan aku sebagai contohnya. “Contohnya nih tempat modeling kan ngajarin gimana jadi seorang model. Misalnya dia,” ujarmu sambil menunjuk ke arahku. “Nggak bisa jalan kaya model, pragawati. Tapi karena ikut kelas modeling jadi bisa.” Aku paham maksudmu, tapi kenapa kamu malah menunjukku?

Panjang kamu menjelaskan maksudmu tapi jawaban Leader yang memang staff dari lembaga ini pun sepertinya tidak memuaskanmu. Aku paham maksud Leader karena lembaga yang kita tempuh ini menyerahkan sepenuhnya kepada peserta untuk membentuk diri sendiri. Aku menyadari kesinisanmu terhadap lembaga ini. Kalian berdua masih lempar pandangan masing-masing, tidak ada yang mulai mengalah untuk mendengarkan secara baik-baik. Rekan wanita yang duduk di sebelah kiri Leader pun angkat bicara. Aku pikir dia akan menengahi kalian, tetapi yang dia lontarkan malah dari sisi Leader sebagai bagian dari lembaga kita ini. Aku pun merasa lucu dan tertawa menunduk. Tak disangka kamu memperhatikan. Awalnya kamu bertanya tapi aku tidak dengar. Sampai akhirnya rekan kita yang duduk di depanku memanggil, “Mba.” Aku pun mendongak, “Ya.” Dia pun mengarah ke kamu. “Kenapa ketawa?” tanyamu. Aku pun angkat bicara untuk menengahi kalian. Aku menjelaskan kembali pandanganmu ke Leader dengan bahasa yang (mungkin) bisa lebih dimengerti dan tetap minta koreksimu jika ada salah. Begitu pula aku memberikan kamu pengertian akan lembaga ini dan juga meminta koreksi dari si Leader jika ada salah. Di tengah-tengah ketika aku masih menjelaskan maksudmu ke Leader, kamu pun berkomentar. “Nah! Akhirnya. Cerdas! Nih dia nih ngerti maksud gw. Banyak orang susah ngerti maksud gw.” Bahkan ketika kamu angkat bicara lagi, kamu pun melemparkan kepadaku. “Lo ngerti kan Fi?” tanyamu. Aku pun hanya tersenyum dan menjawab, “Iya.” Entah mengapa aku sangat mudah memahami bahasa atau gaya bicaramu. Justru aneh jika banyak orang yang tidak mudah memahamimu. Mungkin karena aku merasa aneh, ganjil, lucu, tertarik akan beberapa perilakumu yang (cukup) tidak biasa. Mungkin hal itulah yang memacuku untuk memperhatikan dirimu. Penasaran membuahkan fokus terhadapmu. Perhatianku itulah yang mungkin membuatku sepertinya sangat mudah memahami apapun yang kamu katakana atau ungkapkan. Semua gerak tubuh, mata, ekspresi, sikap, gaya bicara, tata bicara milikmu terhadap apapun selama masa pelatihan. 

Dan sepertinya kamu cukup bahagia menemukan manusia yang mengerti perkataanmu. Sampai kamu sempat berkomentar, “Wah, gw lagi cari asisten nih. Lo mau nggak jadi asisten gw? Jelasin maksud perkataan gw ke orang lain. Banyak yang nggak ngerti nih.” Aku pun menanggapinya sebagai sebuah gurauan. Satu hal yang sudah aku menangkan, yaitu aku mengerti di saat orang lain tidak memahami kamu. Komentarmu itu sudah cukup bisa melambungkan perasaanku. Ketika sang Leader sudah pamit untuk mengurusi persiapan Graduation, tidak lama kemudian rekan wanita kita pun membahas hal lain yaitu tentang adaptasi saat bergaul atau bersosialisasi. Menurutnya, kita tidak perlu merubah diri ikut arus atau pun mengikuti pembicaraan saat berada pada sebuah perkumpulan atau kelompok. Menurutnya, kita harus jadi diri sendiri dalam kondisi sosial apapun itu. Aku melihat situasi ini seperti sebuah peluang untuk memenangkan dirimu lagi. Hanya dengan melihat raut mukamu, aku tahu bahwa kamu tidak setuju dengan pernyataannya. Aku pun mulai berkomentar, “Bener banget. Tapi terkadang kita dihadapkan dengan kondisi dimana kita harus, mau nggak mau, seperti mereka atau seperti orang lain. Misalnya, kalau lagi kumpul ngebahas hal yang lo nggak suka, mau nggak mau lo harus ngebahas itu juga kan. Nggak mungkin, misalnya bos lo lagi ngebahas apa, lo nggak suka dan jadi melenceng karena lo tetep nggak suka. Atau apa lah gitu.” Dan kamu pun bereaksi seperti dugaanku. Kamu pun menunjuk ke arahku tanda setuju, “Nah! Pinter!” Lagi-lagi aku menang.

>> Eleven
Kelas terakhir sebelum Graduation, setelah seluruh peserta melakukan ‘drama’ antar jenis kelamin, Trainer meminta kita terakhir kalinya duduk membentuk lingkaran kecil masing-masing small group. Sebenarnya kejadian ini tidak begitu istimewa tapi aku mengingatnya. Di saat anggota kelompok kita berkumpul sembari mencari tempat duduk, kamu tetap berdiri di tembok dekat lokasi kelompok kita. Kamu hanya memperhatikan aktivitas menggeser-geser kursi. Aku sudah mengambil posisi. Salah satu rekan pria yang paling dekat dengan kita berdua sudah ada di sebelah kananku. Sengaja aku memberikan space kosong sebelah kiriku satu kursi. Alasanku adalah karena sudah cukup bosan duduk dekat Leader kita (I am very sorry Miss). Entah memang hanya space itu saja yang tersedia atau bagaimana, tetapi kamu mengambil tempat di sebelah kiriku.

>> Twelve
Masih pada sesi kumpul terakhir small group di dalam kelas, Trainer menjelaskan akan sebuah symbol. Lalu Leader memberikan kita masing-masing sebuah bros. Bros emas mungil berbentuk burung yang sedang terbang. Beberapa saat setelah kita diminta untuk menyematkan bros mungil itu, sebuah bros jatuh ke bawah. Kamu mengambilnya dan bertanya kepada semua, “Punya siapa ini?” Aku pun diam saja karena memang bukan milikku. Aku lupa siapa yang menjawab kehilangan dan kamu memberikannya. Setelah itu kamu menoleh ke arahku dan bertanya, “Punya lo mana?” Aku pun menjawab,”Ada.” Kamu bertanya lagi, “Mana?” Aku pun memperlihatkan dimana kusematkan bros mungil itu kepadamu, “Nih.” “Seinget gw tadi bukan gw yang kehilangan bros,” pikirku. Aku paham kalau kamu hanya mengecek bros milikku masih ada atau hilang juga seperti rekan kita itu. Ah, perhatiannya.

>> Thirteen
Masih pada sesi kumpul terakhir small group kita sebelum Graduation. Trainer meminta kita untuk saling berpegangan tangan dengan orang di sebelah kanan-kiri kita. Kamu menaruh tangan di atas paha kananmu dengan posisi terbuka ke atas. Otomatis aku meletakkan tanganku di atas tanganmu. Enak rasanya. Tanganmu lembut dan nyaman. Entah mengapa aku menyukai kedua tangan kita bersatu seperti itu. Lalu kita diminta untuk mendengarkan Trainer dan beberapa lagu pun diputar. Kita pun diminta untuk ikut bernyanyi. Aku tidak begitu ingat lagu apa yang sedang diputar, tetapi saat lirik kata ‘LOVE’ tanganmu meremas tanganku lebih erat dan kembali mereda saat kata itu menghilang di telinga. Sontak aku pun langsung mengernyitkan dahi dan tidak berani menengok karena bisa menarik perhatian anggota lainnya. Aku tidak tahu apakah tangan kirimu juga melakukan hal sama dengan tangan kanan Leader. Tapi perlakuanmu itu tak ayal mengherankanku.

>> Fourteen
Juga masih pada sesi kelas yang sama, kumpul small group terakhir di kelas. Kamu memang duduk di sebelah kiriku. Selama kita duduk melingkar itu, pastinya tidak akan ada keadaan kosong tanpa diisi oleh suara Trainer atau kita diminta untuk melakukan suatu hal. Tak ayal, kamu pun cukup sering jahil dan bercanda terhadapku. Entah menyenggol lengan, kaki, lutut, atau paha. Dan kamu lebih memilih untuk menyandarkan tangan kananmu di senderan kursiku. Karena sepertinya itu lebih baik daripada kamu melakukannya ke sebelah kirimu). Perilakumu itu terkadang dibumbui dengan komentar, “Hush”, “Sok tahu”, “Kan apa dibilang”, “Hush berisik”, dsb ketika aku merespon kalimat yang dilontarkan oleh Trainer, Leader, ataupun anggota lainnya. Aku tidak terlalu Gede-Rasa karena memang sepertinya kamu tidak menyukai keseluruhan program yang kita ikuti.

Pernah suatu ketika, di sesi yang sama, Leader membahas mengenai jadwal pertemuan selanjutnya. Setiap peserta diminta untuk datang lagi dua kali setelah Graduation. Pertama untuk mengikuti sesi pertemuan sebelum masuk ke kelas yang lebih tinggi. Kedua untuk mengambil sertifikat sebagai bukti bahwa kita telah mengikuti pelatihan. Dua jadwal itu sudah ditulis setiap peserta pada kertas yang sudah disediakan. Ketika Leader membahasnya, kita mengeluarkan lembar kertas jadwal tersebut. Leader pun mengkonfimasi ulang akan jadwal kita masing-masing. Tak ayal kamu pun penasaran. “Lo kapan?” tanyamu. Aku menjawab, “ALI nya Senen sore.” Sedangkan pengambilan sertifikat punya jadwal yang sama dengan keseluruhan peserta. Kecuali sekumpulan peserta yang didukung oleh perusahaan tempat mereka bekerja, bisa memilih ambil sediri atau dikirim kolektif. “Coba liat,” tanyamu lagi ketika kertas jadwalku masih di tangan. “Penasaran amat Mas,” pikirku.

Masih berkaitan dengan penjelasan Leader akan dua jadwal kembali lagi ke tempat pelatihan setelah Graduation, aku pun bertanya lebih detail kepada sang Leader. Aku lupa bahwa tempat pelatihan ini mempunyai metode untuk menyerahkan semuanya kepada peserta walaupun memang akan ada ‘embel-embel’ meminta kita untuk mengikuti kelas selanjutnya. “Jadi, kalau sertifikat bisa sesuka kita tapi kalau ALI memang jadwalnya dari sini? Aku lebih milih untuk dateng ambil sertifikat daripada ikut ALI. Boleh kan kalau nggak ikut ALI?” tanyaku. “Menurut Elfi gimana?” tanya Leader berbalik. “Lho, sebenernya yang diwajibkan ikut yang mana?” responku lebih ketus. “Terserah Elfi. Menurut Elfi mana yang lebih baik?” ujar si Leader. Aku pun tidak meresponnya kembali dan memilih untuk diam. Ketika aku menyenderkan diri ke kursi, aku sadar bahwa kamu juga sedang menaruh lenganmu pada kursiku. “I’ve told you,” bisikmu padaku. Ketika aku bereaksi ingin berkomentar, kamu pun segera menambahkan, “Dibilangin. Kan dibalikin lagi ke kita.” Kalau saja kita sedang tidak berada pada lingkaran small group, ingin rasanya membahas ini lebih tajam denganmu. Aku pun menyadari penilaianmu terhadap lembaga ini. Dan aku akhirnya sepakat denganmu.  

>> Fifteen
Itulah kejadian-kejadian cukup aneh yang terjadi selama pelatihan berlangsung. Ketika aku sedang kondisi penuh logika dan perasaan tidak bermain, aku pun merasa wajar kalau kamu sepertinya menyukaiku. Kamu tidak suka akan program itu sama sekali. Ketidaksukaanmu itu berbuah pada sikap cool dan cuek terhadap hampir semua peserta. Small group adalah satu-satunya wadah dimana kamu bisa bertemu dengan orang lain secara lebih dekat. Dan diantara semua anggota kelompok kita, aku salah satu orang yang bisa ‘nyambung’ denganmu. Kamu pun sempat bilang, “Kalo sama lo atau *nt* sih oke-oke aja. Si *ea*ny juga nggak nyambung gw sama dia. Apalagi *o*an, diem banget orangnya. Lainnya udah lebih berumur kan.” Well, aku pun mengiyakannya. Walaupun aku merasa tidak enak kalau justru tidak begitu dekat dengan sesama jenis seperti rekan wanita kita itu.

Komentar itu pun kamu lontarkan ketika kita secara tidak sengaja bertemu di sebuah mall di Jakarta. Sebelumnya memang kelompok kita berencana untuk kumpul lagi. Aku menyarankan kumpul di sebuah mall di daerah TB Simatupang karena kebetulan pada tanggal yang sudah kita sepakati aku sedang ada project event di sana. Lalu tidak di-iyakan karena di sana tidak ada lokasi bermain untuk anak kecil. Lalu tempat berpindah ke sebuah mall di daerah Casablanca Jakarta. Beberapa hari sebelum hari H, PIC event kantor memintaku untuk terlibat secara full di mall dekat TB Simatupang itu. Itu artinya aku bertugas selama dua hari penuh dan tidak akan bisa ikut berkumpul dengan kalian. Aku pun mengabari kalian di Multiple Chat BBM kelompok kita. Lalu akhirnya diundur lain waktu kalau satu orang tidak bisa hadir. Rekan wanita kita itu mengundang ke acara ulang tahun anaknya. Tidak ada jawaban pasti dari lainnya, aku pun hanya mengiyakan tanpa janji.

Sampai tiba akhirnya hari pertama aku bertugas di mall itu. Siang hari, handphone ku sedang aku charge di ruangan belakang panggung. Dan aku tidak menyadari ada beberapa missed-call dari satu nomor. Lalu ketika aku cek, ternyata kamu sedang bertanya di Multiple Chat kelompok kita. “Lu dimana Fi?” chatmu. Aku pun terperanjat. “Gue di C*tos niiihhhhh. Lupa sama muka lu…hahahahaa” chatmu lagi. Aku segera membalas. “Lo dimana?? Gw di arena permainan B*b*sta* nyaaaa. Di daleemmm” chatku. “Gue di Starbucks sebelah tempat lu niiihh.” Cukup panik karena muka ku sangat berminyak. Untungnya aku selalu mengantongi kertas minyak. Seketika aku usap minyak di muka ku ini dengan beberapa lembar kertas minyak berwarna biru yang sangat terkenal itu. Aku pun keluar arena dan ke tempat yang kamu bilang. Aku pun tidak menemukanmu. Aku chat lagi. “Lo di sebelah manaaa…???” chatku. Untuk menunggu balasan darimu, aku memutuskan untuk duduk lagi di belakang panggung arena. “Gue di Starbucks nyaaaa. Di luar. Deket banget sama tempat lo.” Aku pun makin bingung karena sepertinya aku tidak melihatmu ketika ke sana. Aku pun beranjak dan memutuskan untuk mengintip dari dalam arena terlebih dahulu. Selain untuk tidak membuang waktu, juga ingin tahu dengan siapa kamu datang. Kalau ternyata datang dengan pasanganmu, setidaknya aku sudah menyiapkan hati terlebih dahulu supaya bisa tegar. Aku berhasil menemukanmu, walaupun jujur agak sedikit lupa dengan wajahmu seperti apa pastinya. Tetapi ketika melangkah lagi ke pintu masuk arena (yang lebih dekat dengan Starbucks), seorang MC yang sudah menjadi bagian dari event tahunan ini pun menghampiriku. Dia pun menyeretku kembali dekat dengan belakang panggung. Ketika aku sudah hampir selesai pembicaraannya, aku pun segera keluar ke tempatmu. Aku yakin kamu sempat melihatku diterjang wanita cantik yang dikenal sebagai MC itu. 

Yes, dan kita pun kembali bertemu. Kamu semakin kurus menurutku. Tetapi tidak aku lontarkan tanggapan itu. Aku menghampirimu dan kamu beranjak menghampiriku. Kita mengobrol sembari berdiri dan aku bersender pada tiang dekat tangga. Banyak yang kita obrolkan. Salah satunya tentang ketidaksediaanmu datang ke acara ulang tahun anak rekan wanita itu. Kebanyakan pembicaraan tidak jauh dari peserta pelatihan dan atau beberapa orang yang bertugas sebagai Leader. Sempat juga kamu bertanya tentang tempat kerjaku, perusahaan yang bergerak di bidang apa, seperti apa, menjanjikan atau tidak kalau bekerja di bidang itu. Pertanyaan kamu tentang kesejahteraan karyawan seperti itulah yang memberikan kesan bahwa kamu memang melihat orang dari status pekerjaannya. Tak ayal aku menjadi kurang percaya diri untuk menjadi seorang yang istimewa di matamu. Sampai pada akhirnya kita sempat membahas soal pasangan. Lupa tepatnya berawal dari mana, kamu sempat berucap, “Kalau ada kenalan gitu Fi, boleh lah. Yang udah punya anak juga boleh.” Sontak aku tertawa. “Hahahaaa satu paket ya kalau udah punya anak. Beli 1 gratis 1…hahahahaa.” “Iya dong.” “Emang udah pengen nikah banget lo ya” tanyaku. “Iya lah. Lo emang nggak?” tanyamu berbalik. “Hahahahahaa iya sih. Tapi masih nggak tau kapan,” ujarku. “Lho emang cowo lo?” tanyamu. “Hahahaaaaa” tawaku kencang tapi berangsur lebih reda, “udah nggak usah dibahas deh soal pasangan mah.” Komentarmu terakhir masih sangat jelas di benakku, “Tapi lo jangan nikah duluan ya.” Sontak aku kaget, “Hahahahaa lho kok gitu.” “Iya, jangan aja.” Aku lupa kita membahas apalagi. Dan akhirnya kamu pamit. “Eh, udah sore juga nih. Gw mau cabut ya. Lo masih mau di sini, atau…” tanyamu sambil melihat ke arena. Aku pun menjawab sembari mengangguk belakangmu (yaitu ke arah storage dimana kebanyakan kru ada di sana), “Nggak. Paling nanti sama anak-anak aja.” “Lo mau pesen nggak?” tanyamu lagi sambil menunjuk ke dalam Starbucks. Aku langsung ingat pertama kalinya kita ke Starbucks kamu mengeluarkan dana dan tidak ingin dikembalikan. Dan aku tidak ingin merepotkan kamu lagi. “Nggak usah. Udah kok gw.” Kamu pun pamit lagi, “Okeh. Duluan ya. Setidaknya gw udah ketemu sama lo.” Dan kamu pun menyodorkan tangan. Kembali aku merasakan hal yang sama ketika pelatihan dulu. Tanganmu lembut dan nyaman. Kamu pun berujar, “Nanti kontak-kontakan lagi ya.” Masih menjabat tanganmu. “Oke, beres,” ujarku. “Good luck ya. Semoga makin sukses,” tambahmu lagi masih belum melepaskan tanganku. Aku menjadi canggung dan akhirnya kulepaskan tanganmu, “Lo juga. Ati-ati ya.” Kamu hanya tersenyum. “Daahhh,” ujarku sambil melambaikan tangan satu kali. Aku pun kembali masuk ke arena dari samping. Jujur masih gugup karena pertemuan itu.

Aku pun akhirnya mengetahui bahwa semua kru sudah tidak ada di arena dan berkumpul di storage dekat parkir outdoor. Aku bahagia dan selalu tertawa saat sudah duduk dengan mereka. Mungkin kalau ada yang melihatku saat itu, akan beranggapan bahwa aku bahagia di tengah kerumunan teman-teman laki-laki seperti mereka. Aku satu-satunya perempuan di perkumpulan itu. Aku bahagia bukan karena sedang bersama mereka, tetapi setelah berjumpa denganmu. Tak ayal aku selaku berseloroh, “Kalau bukan lagi tugas kaya gini nih, gw lagi asik nge-date deh ini.” Ketika aku bercerita kepada salah satu dari mereka tentang kamu dan kejadian kamu datang ke mall itu, “Iya kan awalnya janjian di tempat lain. Karena gw bilang gw ada tugas di sini eh jadinya batal deh. Trus tiba-tiba aja BBM kalo lagi di sini. Lagi main ke sini. Itu juga dateng sama temen-temennya.” Temanku itu malah melambungkanku, “Yakin tuh cuma main? Jauh lho Fi. Kantornya di sana, tapi mainnya ke sini.” Oh Tuhanku.

>> Sixteen
Setelah pertemuan tidak langsung di mall itu pun membuatku semakin penasaran. Layaknya serial detektif yang sering aku baca, aku pun menelusuri dan mencari tahu kebenaran akan fakta-fakta yang ada. Akhirnya aku menemukan suatu informasi. Tanpa sepengetahuanmu, aku mengetahuinya. Memang terkesan tidak sopan, tetapi aku lebih memilih itu supaya lebih cepat. Terlalu lama untuk bisa mengetahui atau memuaskan penasaranku. Jika hanya sekedar berkomunikasi denganmu via chat, itu masih kurang menurutku. Chat pun selalu aku yang memulai. Walaupun aku penasaran, apakah kamu tertarik padaku atau hanya teman biasa, tapi aku cukup lelah untuk selalu mulai chat denganmu. Aku menemukan postingan kamu di sebuah media sosial. Pada tanggal di awal masa pelatihan itu, kamu memposting, “(Pelatihan) ama temen (wanita) baru… Scr gue termasuk orang yg pemalu… ;)” dan berlokasi di Starbucks tempat kita pernah kumpul saat sesi istirahat. Aku ingat kamu dulu pernah bilang sering ke tempat itu selama masa pelatihan. Dan aku pun tidak tahu pasti apakah tanggal postingan itu saat kita kumpul atau memang saat kamu sendiri di sana. Postingan itu sontak membuatku berdebar. Siapa gerangan peserta wanita yang kamu maksud? Seingatku, saat di pelatihan sepetinya tidak banyak bergaul karena kebanyakan peserta menjulukimu sebagai ‘Mr. Cool’. Yah, aku putuskan untuk tetap memupuk perasaan ini. Aku pun bertahan untuk tidak lagi memulai chat sebelum kamu yang memulai. Aku stalk akun sosial media milikmu untuk mengetahui kabar terbaru darimu. Pengecut? Memang. Karena aku hanya wanita yang memang tidak ditakdirkan untuk menjadi seorang yang pemberani. 

>> Seventeen
Sepertinya kamu juga sedang jatuh cinta dengan seorang muslimah berjilbab. Status BBM dan foto-foto yang kamu unggah kebanyakan tentang pasangan muslim-muslimah. Begitu pula dengan lagu-lagu yang kamu posting, mengisyaratkan kalau kamu sedang jatuh cinta. Hal itu membuatku bertahan. Gede-Rasa? Iya memang. Kalau kamu memiliki perasaan yang sama, maka kamu adalah orang terakhir dalam hatiku. Aku mau kamu yang menjadi pasangan hidupku.

Pertama kalinya kamu memulai chat adalah dengan mengirimkan ‘purple message’ yang lebih dikenal dengan Broadcast Message. Isi chat nya pun sangat singkat, hanya : TC (singkatan dari Test Contact). Saat itu hari Sabtu malam sekitar jam setengah sembilan kalau tidak salah. Foto profile mu saat itu adalah seorang wanita yang sedang memeluk sosok laki-laki yang tengah sekarat. Aku tahu bahwa kamu sedang berduka. Status-statusmu dari hari Jumat sebelumnya sudah menggambarkannya. Aku pun tidak langsung merespon. Alasannya karena tidak ingin terlihat menggebu. Aku membalasnya hampir tengah malam. Entah kenapa aku menduga bahwa sebenarnya kamu ingin aku merespon foto profile mu itu. Aku pun menanyakannya. Sosok itu siapa, kenapa, bagaimana. Kamu pun mengatakan kalau beliau sudah tiada dan sosok itu adalah Opungmu. Aku hanya mengucapkan bela sungkawa. Hanya itu komunikasi kita. Aku tidak tahu, apakah hanya aku anak pelatihan yang kamu kirim Broadcast Message itu atau ada wanita lain (selain lulusan pelatihan kita) juga.

>> Eighteen
Kamu masih menjadi pangeran dalam hatiku. Hampir semua sahabatku tahu tentang dirimu, bagaimana perasaanku, dan segalanya. Tetapi semua berakhir. Kebiasaanku stalk akun sosial mediamu membuatku sakit ditampar kenyataan pahit. Kenyataan bahwa kamu jatuh cinta dengan yang lain. Dia pun wanita muslimah berjilbab yang memang jauh lebih modis, cantik, dan trendy daripadaku. Dia memiliki tata bahasa yang bagus (maaf karena akhirnya aku stalk akun sosial media miliknya juga setelah kumengetahuinya) dan tidak mudah mengumbar emosinya. Dan sepertinya dia juga sedang jatuh cinta pada seorang pria. Dari akun sosial media kalian berdua, aku pun akhirnya mengetahui bahwa kalian cukup sering bepergian bersama. Dan kamu pun sepertinya cukup sering mengunjungi kota dimana dia tinggal. Dia pun memiliki pekerjaan impian yang (hampir) semua orangtua banggakan, dengan kualitas diri yang sepertinya layak diacungi jempol. Aku mundur. Aku kecewa. Aku terluka saat mengetahui kamu bukanlah untukku. Semoga kalian berdua bahagia. Dan semoga aku segera menemukan pangeran lainnya yang bisa membuatku bahagia. Walaupun memang sangat teramat sulit untuk menghapusmu dari hatiku. Karena entah mengapa aku yakin bahwa kamu adalah yang terakhir untukku.


.......