YES, at the first time we meet, I looked at you
without any reasons. I don’t know why it could be happened to me. I don’t know
you yet. But I feel something that hard to describe. Setelah itu pun aku tidak mengerti, mengapa
seolah perlakuanmu berbeda terhadapku. Aku merasakan lirikanmu, pandanganmu, gesture tubuhmu, raut mukamu terhadapku.
Lima hari adalah waktu yang paling singkat untuk bisa merasakan apa yang
namanya cinta. Aku pun tidak percaya akan hal itu.
>> One
Setelah
selesai melakukan berkumpul dengan small
group, trainer pun menyuruh kita
semua bangkit dengan membawa kursi masing-masing untuk membentuk barisan seperti
biasa yaitu deretan beberapa shaf dengan posisi kita menghadapnya. Kebetulan
kelompok kita berada tidak jauh dengan panggung tengah. Kamu mengambil posisi
tepat di barisan depan dan tengah, tepatnya posisi yang paling aku hindari. Dan
posisiku yang berada di belakang kananmu sangat memungkinkan untuk bergeser
pindah maju ke depan yaitu bersebelahan denganmu. Depanku pun sebenarnya belum
ditempati oleh siapapun. Ada tiga cara untuk mengisi kekosongan di depanku.
Pertama, aku maju bersebelahan denganmu dan berhadapan sangat dekat dengan trainer. Kedua, kamu bergeser ke kanan
tepatnya di depanku. Ketiga, peserta lain itu yang bergeser ke kiri. Cara
pertama tidak aku ambil karena duduk di barisan terdepan dan berhadapan
langsung dengan trainer (pengajar, pembicara,
atau apapun istilahnya) adalah hal yang paling aku hindari dalam hidupku. Cara
kedua, tetapi kamu pun diam saja. Cukup lama posisi itu kosong. “Kenapa ini
orang bukannya geser aja,” pikirku. Seolah-olah kamu memintaku dengan halus
agar aku bergerak maju menempati posisi kosong itu. Maaf, aku memilih untuk
berada di belakangmu. “Mas, maaf, tolong geser aja ke sini…hehehe” sembari
menepuk pundakmu. Dan dengan tersenyum pun kamu bergeser ke depanku. “Makasih
lho,” timpalku sambil tertawa.
>> Two
Bersambung
dengan poin One, trainer pun melanjutkan pekerjaannya. Setelah trainer selesai menjelaskan materi baru, setiap peserta akan
melakukan practice sesuai dengan
materi. Pada practice kali ini trainer meminta kita untuk mencari
seorang partner. Trainer menginstruksikan kita semua untuk beranjak serentak dan
langsung mencari partner. Kamu pun
langsung berbalik badan menghadapku. Dan sayangnya, aku sudah terlanjur menoleh
ke samping kiri bukan tetap diam dan mendapatimu. Dari sudut mata, aku tahu
bahwa kamu memang ingin mengajakku. Penyesalan datang belakangan, aku tidak
mengira bahwa kamu langsung berbalik badan. Karena pada umumnya, peserta akan
mencari partner yang berada di
sebelahnya. Aku senang, kamu sebenarnya memilihku. Tetapi yang belum bisa aku ‘baca’
adalah alasan kamu berbalik badan ke arahku.
>> Three
Di
hari menjelang Graduation, kalau
tidak salah hari Jumat. Pada sesi practice
terakhir, semua peserta diminta untuk membentuk lingkaran besar mengelilingi
ruangan. Posisiku cukup jauh denganmu saat itu. Kita semua diminta untuk saling
bergandengan tangan. Setelah itu trainer
akan memberikan sebuah rangkaian peristiwa dan meminta kita untuk
memikirkannya. Sangat menguras emosi seperti biasanya. Ketika trainer selesai bercerita, dia meminta
kita untuk menghampiri orang yang menurut kita paling istimewa dan berarti.
Seketika aku berpikir siapa yang akan aku hampiri. Sempat ada feeling untuk menghampirimu, tapi aku
masih ragu akan perasaanku ini. Dan dengan sudut mataku, sepertinya kamu ingin
menghampiriku. Posisi badan dan wajahmu yang memberitahuku. Tetapi kamu tidak
jadi menghampiriku, karena beberapa orang sudah mengarah kepadamu.
>> Four
Saat
kita makan bersama small group di
sebuah resto cepat saji di daerah Jakarta Selatan, kamu datang paling belakangan.
Pada saat kamu datang, aku sudah berada di customer
line. Belum sampai membentuk antrian, karena beberapa anggota grup masih
sedikit berkumpul untuk pilih-pilih makanan. Jarak customer line dengan tempat duduk kita tidak jauh, jadi aku masih
bisa mendengar percakapan di sana. Kamu pun datang dan melihat dompet wanita
berwarna hijau lumut di meja paling pinggir. Kebetulan salah satu rekan wanita
kita mengambil tempat berhadapan dengan si pemilik dompet. Kamu pun bertanya
kepadanya, “Siapa di sini?” (Karena aku yakin, dari jawaban itu bisa menentukan
posisi dudukmu. Hanya ada 3 wanita dalam grup kita. Aku, leader kita, dan si
rekan yang kamu tanyai. Kamu tidak menyukai program kursus pelatihan ini,
otomatis juga tidak akan menyukai Leader kita.) Dia menjawab, “Elfi.”
Selanjutnya aku tidak memperhatikan apa yang kamu lakukan. Hal yang aku tahu
kemudian adalah kamu sudah berada di kerumunan grup kita dekat customer line. Pada saat ingin membayar
pesanan kita semua, CS nya bertanya pembayaran masing-masing atau disatukan.
Aku bilang, “Masing-masing Mbak.” Tetapi mayoritas laki-laki berseru,
“Digabung.” Aku komentar, “Oke, nanti tinggal dihitung.” Dan kalian para lelaki
berlomba untuk mengeluarkan pendapatan masing-masing. Aku menyerah dan
beringsut mundur. Komentarmu cukup pedas, “Cewe emang gini kalau soal
pembayaran.” Aku tidak menghiraukan karena akan memakan waktu untuk
menjelaskannya. Aku pun beranjak ke toilet dan ketika kembali makanan sudah
tersedia di meja. Kamu pun ternyata mengambil posisi di ujung meja sebelah
kananku. Setelah mendapatkan pesananku, aku pun cukup tidak menyadari beberapa
kecil. Kamu yang mengingatkan dalam bentuk pertanyaan. “Mana minum lo Fi?”
tanyamu. Aku pun tersadar, “Lho kurang berarti ya. Ini punya siapa?” tanyaku sembari
menunjuk minuman Cola sebelah kiriku. Karena pesananku minuman Cola seperti
itu. Begitu rekan sebelah kiriku menjawab, “Saya,” aku pun beranjak ke customer line untuk meminta minuman yang
kurang. Begitu aku duduk dengan membawa minuman itu kamu pun bertanya lagi,
“Nggak pake saos?”. Seperti orang tolol aku pun menjawab, “Oh iya lupa.” Tapi
sebelum aku beranjak, kamu sudah beranjak berdiri. Otomatis aku komentar (walaupun
sepertinya kamu tidak dengar), “Eh nggak usah.” Aku pun beranjak dan benar saja
kamu pergi ke tempat saos. Begitu aku menghampirimu, aku bilang, “Eh nggak
perlu. Biar gw sendiri.” Walaupun kamu sudah mengambilnya, aku tetap mengambil
beberapa cup saos. Kamu pun pasti
membutuhkannya juga. Dan ketika aku duduk, ternyata kamu meletakkan cup saos itu di antara makanan kita
bukan di hadapanmu sendiri. Setelah selesai makan, biasanya aku memang tidak
merapihkan bekas makan karena nanti akan dikerjakan oleh petugas. Akan tetapi
kamu tidak seperti itu. Kamu pun merapihkan bekas makananku dan menyatukannya dengan
milikmu lalu kamu letakkan di pojok kananmu. Yang artinya bagian meja depan ku,
depan mu dan sudut antara kita bersih dari sisa makanan. Bahagia itu sederhana.
Sesederhana perhatianmu kepadaku itu.
>> Five
Masih
dalam moment makan bersama di resto
cepat saji itu. Kita sempat berfoto bersama. Dan seperti biasa, setelah selesai
sesi foto-foto adalah untuk membagikan hasilnya ke semua anggota. Ribut tentang
media sosial, aplikasi chat yang
memungkinkan proses share photo jauh
lebih mudah dan cepat. Aku sempat berkomentar, “Media sosial pada punya nggak”
tanpa bermaksud serius menanyakannya ke semua orang. Karena ada beberapa
anggota grup kita yang cukup berusia dimana umumnya mereka tidak akrab dengan
media sosial. Kamu pun akhirnya bertanya secara personal dengan nada cukup
pelan kepadaku, “Punya Path nggak?” Aku pun menjawab dengan tersenyum, “Nggak.”
Kamu pun bereaksi, “Yah.” Aku pun diam saja karena tidak merasa perlu
menjelaskan alasannya. Handphone ku
belum sejenis Android jadi wajar
kalau memang tidak punya. Aku cukup heran, kenapa malah bertanya media sosial
yang hanya bisa sangat sedikit contact
friend-nya. Jumlah friend di Path dibatasi per akun karena memang
slogan mereka “Private Share” bukan
seperti media sosial lainnya. Biasanya dengan orang asing yang baru kenal,
media sosial yang ditanya adalah Facebook.
Atau maksimal bertanya akun Twitter-nya
apa. Karena dua media sosial itu yang paling banyak pengguna dan bisa tidak
terbatas contact friend-nya. Agak
heran dengan pertanyaanmu. “Mau tau aja hidup gw kaya apa,” pikirku.
>> Six
Masih
pada waktu dan tempat yang sama. Di tengah kegiatan makan, Leader yang duduk
cukup di tengah memulai pembicaraan. Seperti halnya setelah selesai practice, pasti hasilnya didiskusikan
dalam kelompok. Kita diminta untuk bercerita lagi ataupun mengomentari practice tersebut. Dan seperti biasa,
Leader melemparkan pertanyaan siapa yang mulai. “Hayo, siapa yang mau sharing tentang latihan tadi?” tanyanya.
“Ngomong gih,” katamu ke arahku. (Oh iya, lupa. Entah bagaimana kenapa jarakmu
lebih dekat ke aku daripada ke rekan wanita kita itu. Padahal kamu berada di
antara kami berdua. Jadilah kalau kamu berbicara, memang ditujukan kepadaku.)
Aku belum selesai makan dan tidak terbiasa bercakap saat makan, jadi aku hanya
komentar, “Ih, kenapa gw deh.” Percakapan grup pun mulai bergulir. Setiap salah
seorang selesai share, Leader pun
bertanya kembali siapa yang belum atau mau share.
Tidak hanya sekali, kamu selalu melempar ke arahku dengan nada yang cukup
keras. “Nih si Elfi belum nih.” Dan sejenisnya. Padahal si rekan kita yang
berada di sebelah kananmu juga belum bicara. Tapi kamu tidak melempar giliran
ke arahnya. Lucunya kamu juga belum share.
Komentar terakhirku tentang kelakuanmu, “Kenapa mesti gw sih. Lo kan juga belum
deh.” “Lah, emang lu belum kan,” sanggahmu. Saat Leader menyadari aku belum
angkat bicara, “Nah, Elfi. Gimana?” Kamu pun berkomentar, “Tuh kan.” Aku pun
hanya mengumpat dalam hati, “Sial. Males bener deh.” Dan aku pun tidak
berbicara panjang seperti biasanya. Sharing
ku pun datar. “Ya begitu. Ada beberapa yang bener, tapi ada juga yang yaaaa
nggak.” Mulutku masih ada tugas mengunyah, tangan juga masih bertugas mengambil
makanan dan menaruhnya ke dalam mulut. Kondisi seperti itu yang membuatku malas
berbicara banyak. Entah mengapa aku yakin bahwa kamu ingin mendengarku
berbicara banyak.
>> Seven
Pada
hari yang sama. Aku memang selalu segera pulang setelah kelas selesai. Tidak
seperti kebanyakan peserta yang masih menyempatkan untuk bercengkrama dengan
peserta lainnya. Polaku selalu sama dari hari pertama, yaitu langsung segera
ambil tas dan keluar menuruni tangga keluar. Biasanya aku tidak berjumpa dengan
peserta lain setelah melewati security.
Saat menunggu taxi di seberang sampai taxinya ada, biasanya hanya aku peserta
di luar sana. Tapi malam itu, ternyata kamu pun keluar. Saat sedang menunggu
taxi, aku pun melihat sosokmu. Aku pikir kamu langsung menuju mobil (bukan
motor karena parkiran motor ada di dalam bukan di luar dekat security) karena sama sekali tidak
membawa tas. Hanya sosokmu yang sedang merokok keluar area parkir mobil dekat security. Kamu pun tidak memanggilku.
Melambaikan tangan pun tidak. Dan aku pun tidak memanggilmu. Keseringan aku
menoleh ke arah datangnya kendaraan bukan melihat ke depan (ke arahmu). Jadi
aku pun tidak tahu apakah kamu melihat ku atau tidak. Kamu masih di luar sana
sampai aku masuk ke dalam taxi. Agak heran. “Ngapain dia ya. Ngambil mobil juga
nggak. Kalau cuma pengen ngerokok kan bisa di halaman dalem sana. Masa iya
nunggu jemputan,” pikirku.
>> Eight
Pada
sesi practice di hari-hari awal
program, lupa tepatnya hari apa, Trainer
meminta seluruh peserta membuat empat barisan kursi dimana barisan pertama dan
kedua membelakangi panggung sedangkan barisan ketiga dan keempat tetap
menghadap panggung. Jarak barisan kedua dan ketiga diperbesar kira-kira
setengah meter. Peserta yang duduk di barisan pertama dan kedua dijadikan kelompok
B sedangkan sisanya kelompok A. Kelompok A diminta untuk berkumpul di ujung
barisan. Tugasnya sederhana yaitu setiap peserta diminta untuk berpindah dari
ujung satu ke ujung lainnya dengan gaya masing-masing. Aturannya cukup
sederhana tapi mengasah kreativitas, tidak boleh ada pengulangan gaya baik
peserta kelompok A maupun B. Kebetulan kamu kelompok B dan aku kelompok A.
Kelompok A terlebih dahulu melaksanakan tugasnya. Setelah selesai, peserta
kelompok A diharuskan untuk duduk di barisan kedua dan ketiga tadi. Aku pun
duduk di barisan ketiga menghadap ke panggung. Tiba saatnya giliran kamu untuk
unjuk gigi. Gayamu berlutut di depan orang yang duduk di deretan kedua dan
ketiga. Gayamu seperti pria yang sedang berlutut melamar kekasihnya. Tetapi
tidak semua orang kamu hampiri. Kalau dilihat dari pola kursi yang kamu
hampiri, aku adalah salah satu orang yang akan berhadapan denganmu. Anehnya
begitu sampai di (hampir) depanku, dalam hitungan kurang dari 1 detik
kamu pun merubah haluan ke sebelah kananku. “Mestinya elu ke gw deh bukan ke
sebelah. Kenapa jadi nggak biasa ini orang?” pikirku lucu. Kebetulan juga
karena situasi kelas memang sudah riuh canda sejak kelompok A bermain, jadilah
aku tertawa setelah kamu berlutut di depan perempuan sebelahku itu. Hahahaaa
kenapa malah berlutut di sana? Kalau memang mestinya berlutut di depanku aneh
ya? Ada masalah? Malu? Kenapa tidak biasa aja sayangku.
>> Nine
Hari
Sabtu, sehari sebelum prosesi saat istirahat kedua di siang (menjelang sore)
hari. Grup kita kembali ke resto cepat saji seperti hari Jumat sebelumnya.
Begitu sampai sana, kamu pun berbicara di depan kita (seluruh anggota
kelompok), “Gw mau ngopi aja. Kalau mau pada makan ke sini, gw ke seberang dulu
nanti nyusul lagi ke sini.” Tak ayal, rekan wanita kita juga punya keinginan
yang sama. Salah satu anggota bertanya, “Apa mau ke seberang aja? Gw sih nggak
laper.” Gw pun mengangkat bahu karena sudah makan saat sesi pertama. Tetapi ada
beberapa anggota yang memang ingin makan. Akhirnya kita terbagi dua yang ingin
makan tetap di resto cepat saji dan yang tidak ingin makan ikut ke seberang.
Aku pun karena masih kenyang memutuskan untuk ikut ke seberang. Begitu sampai
di dalam Starbucks dan sudah memesan, kamu pun mempersilahkan kita semua naik
duluan ke serambi luar. Aku pun mengambil posisi menghadap area parkir tempat
pelatihan kita supaya bisa tahu sudah berapa banyak peserta yang kembali. Kebetulan
posisi itu paling pinggir. Depan dan sebelah kanan persis ku kosong. Rekan
wanita kita duduk beda 1 kursi dengan ku sebelah kanan. Kamu datang dan
mengambil tempat di depanku. Obrolan pun mengalir. Sampai pada topik soal Graduation besok. Dari obrolan dan info
yang beredar, saat Graduation itu
sangat bebas perempuan-lelaki bisa cipika-cipiki,
rangkulan, peluk-pelukan. “Dia nih yang gw concern-in” katamu sambil
menunjukku. Karena dari semua wanita di grup kita, aku satu-satunya anggota
yang berjilbab (rekan wanita kita menganut kepercayaan yang beda denganku wajar
jika tidak berjilbab). Aku pun cukup heran mengapa kamu malah
mengkhawatirkanku. “Kan nanti bisa aja kaya gitu,” lanjutmu. Salah satu teman
kita pun bertanya, “Kenapa malah lo khawatir sama Elfi?” Kamu pun tidak
mengindahkan (entah tidak dengar atau apa) pertanyaannya. Kamu malah berbicara,
“Temen gw aja yang udah punya suami bisa cipika cipiki sama cowo deh.
Peluk-pelukan gitu. Yang udah punya istri juga cuek aja kayanya. Karena udah
kaya keluarga sendiri katanya.” Komentarku pun datar, “Nggak gitu juga kan.”
Cukup heran karena menurutku situasi dan kondisi kaya yang kamu pikirkan belum
tentu sama dengan Graduation kita.
Orang lain pasti akan menghormati jilbabku dan tidak akan melakukan hal-hal
yang tidak sopan. Tapi tidak apa, kamu sudah mengkhawatirkan diriku.
>> Ten
Hari
Minggu, beberapa jam sebelum sesi terakhir menjelang Graduation, kita diberikan waktu istirahat cukup lama. Kelompok
kita lagi-lagi memilih untuk makan di resto cepat saji. Bedanya hanya di
outdoor, sedangkan sebelumnya di indoor. Kamu hanya pesan kopi dan menikmati
rokok. Aku lebih memilih untuk makan secara normal saja. Posisi kita tidak
sedekat sebelumnya. Cukup jauh. Kamu berada di serong kiri depanku, Leader di
sebelah kiriku persis. Leader seperti biasa melemparkan kalimat, “Siapa yang
akan share lagi di sini?” Aku pun
menyeletuk, “Kalau ditanya, what do you
want, I want to sleep. Pengen ada kasur, bantal di sini. Kalau perlu
gulingnya juga.” Keseringan malah membahas soal perkiraan Graduation seperti apa, sesi terakhir sebelum Graduation membahas apa. Di saat pembicaraan mulai menipis dan
sedikit sunyi, Leader pun bertanya lagi, “Hayo ngebahas apa lagi nih kita.”
Kamu pun angkat bicara, bertanya akan esensi dari pelatihan ini apa.
Penjelasanmu tentang umumnya lembaga pendidikan sepertinya kurang bisa diserap
sama Leader. Walaupun kamu sempat menggunakan analogi dan aku sebagai
contohnya. “Contohnya nih tempat modeling
kan ngajarin gimana jadi seorang model. Misalnya dia,” ujarmu sambil menunjuk
ke arahku. “Nggak bisa jalan kaya model, pragawati. Tapi karena ikut kelas
modeling jadi bisa.” Aku paham maksudmu, tapi kenapa kamu malah menunjukku?
Panjang
kamu menjelaskan maksudmu tapi jawaban Leader yang memang staff dari lembaga
ini pun sepertinya tidak memuaskanmu. Aku paham maksud Leader karena lembaga
yang kita tempuh ini menyerahkan sepenuhnya kepada peserta untuk membentuk diri
sendiri. Aku menyadari kesinisanmu terhadap lembaga ini. Kalian berdua masih
lempar pandangan masing-masing, tidak ada yang mulai mengalah untuk
mendengarkan secara baik-baik. Rekan wanita yang duduk di sebelah kiri Leader
pun angkat bicara. Aku pikir dia akan menengahi kalian, tetapi yang dia
lontarkan malah dari sisi Leader sebagai bagian dari lembaga kita ini. Aku pun
merasa lucu dan tertawa menunduk. Tak disangka kamu memperhatikan. Awalnya kamu
bertanya tapi aku tidak dengar. Sampai akhirnya rekan kita yang duduk di
depanku memanggil, “Mba.” Aku pun mendongak, “Ya.” Dia pun mengarah ke kamu.
“Kenapa ketawa?” tanyamu. Aku pun angkat bicara untuk menengahi kalian. Aku
menjelaskan kembali pandanganmu ke Leader dengan bahasa yang (mungkin) bisa
lebih dimengerti dan tetap minta koreksimu jika ada salah. Begitu pula aku
memberikan kamu pengertian akan lembaga ini dan juga meminta koreksi dari si
Leader jika ada salah. Di tengah-tengah ketika aku masih menjelaskan maksudmu
ke Leader, kamu pun berkomentar. “Nah! Akhirnya. Cerdas! Nih dia nih ngerti
maksud gw. Banyak orang susah ngerti maksud gw.” Bahkan ketika kamu angkat
bicara lagi, kamu pun melemparkan kepadaku. “Lo ngerti kan Fi?” tanyamu. Aku
pun hanya tersenyum dan menjawab, “Iya.” Entah mengapa aku sangat mudah
memahami bahasa atau gaya bicaramu. Justru aneh jika banyak orang yang tidak
mudah memahamimu. Mungkin karena aku merasa aneh, ganjil, lucu, tertarik akan
beberapa perilakumu yang (cukup) tidak biasa. Mungkin hal itulah yang memacuku
untuk memperhatikan dirimu. Penasaran membuahkan fokus terhadapmu. Perhatianku
itulah yang mungkin membuatku sepertinya sangat mudah memahami apapun yang kamu
katakana atau ungkapkan. Semua gerak tubuh, mata, ekspresi, sikap, gaya bicara,
tata bicara milikmu terhadap apapun selama masa pelatihan.
Dan
sepertinya kamu cukup bahagia menemukan manusia yang mengerti perkataanmu.
Sampai kamu sempat berkomentar, “Wah, gw lagi cari asisten nih. Lo mau nggak
jadi asisten gw? Jelasin maksud perkataan gw ke orang lain. Banyak yang nggak
ngerti nih.” Aku pun menanggapinya sebagai sebuah gurauan. Satu hal yang sudah
aku menangkan, yaitu aku mengerti di saat orang lain tidak memahami kamu.
Komentarmu itu sudah cukup bisa melambungkan perasaanku. Ketika sang Leader
sudah pamit untuk mengurusi persiapan Graduation,
tidak lama kemudian rekan wanita kita pun membahas hal lain yaitu tentang
adaptasi saat bergaul atau bersosialisasi. Menurutnya, kita tidak perlu merubah
diri ikut arus atau pun mengikuti pembicaraan saat berada pada sebuah
perkumpulan atau kelompok. Menurutnya, kita harus jadi diri sendiri dalam
kondisi sosial apapun itu. Aku melihat situasi ini seperti sebuah peluang untuk
memenangkan dirimu lagi. Hanya dengan melihat raut mukamu, aku tahu bahwa kamu
tidak setuju dengan pernyataannya. Aku pun mulai berkomentar, “Bener banget.
Tapi terkadang kita dihadapkan dengan kondisi dimana kita harus, mau nggak mau,
seperti mereka atau seperti orang lain. Misalnya, kalau lagi kumpul ngebahas
hal yang lo nggak suka, mau nggak mau lo harus ngebahas itu juga kan. Nggak
mungkin, misalnya bos lo lagi ngebahas apa, lo nggak suka dan jadi melenceng
karena lo tetep nggak suka. Atau apa lah gitu.” Dan kamu pun bereaksi seperti
dugaanku. Kamu pun menunjuk ke arahku tanda setuju, “Nah! Pinter!” Lagi-lagi
aku menang.
>> Eleven
Kelas
terakhir sebelum Graduation, setelah
seluruh peserta melakukan ‘drama’ antar jenis kelamin, Trainer meminta kita terakhir kalinya duduk membentuk lingkaran
kecil masing-masing small group.
Sebenarnya kejadian ini tidak begitu istimewa tapi aku mengingatnya. Di saat
anggota kelompok kita berkumpul sembari mencari tempat duduk, kamu tetap
berdiri di tembok dekat lokasi kelompok kita. Kamu hanya memperhatikan
aktivitas menggeser-geser kursi. Aku sudah mengambil posisi. Salah satu rekan
pria yang paling dekat dengan kita berdua sudah ada di sebelah kananku. Sengaja
aku memberikan space kosong sebelah
kiriku satu kursi. Alasanku adalah karena sudah cukup bosan duduk dekat Leader
kita (I am very sorry Miss). Entah
memang hanya space itu saja yang
tersedia atau bagaimana, tetapi kamu mengambil tempat di sebelah kiriku.
>> Twelve
Masih
pada sesi kumpul terakhir small group di dalam kelas, Trainer menjelaskan akan sebuah symbol. Lalu Leader memberikan kita
masing-masing sebuah bros. Bros emas mungil berbentuk burung yang sedang
terbang. Beberapa saat setelah kita diminta untuk menyematkan bros mungil itu,
sebuah bros jatuh ke bawah. Kamu mengambilnya dan bertanya kepada semua, “Punya
siapa ini?” Aku pun diam saja karena memang bukan milikku. Aku lupa siapa yang
menjawab kehilangan dan kamu memberikannya. Setelah itu kamu menoleh ke arahku
dan bertanya, “Punya lo mana?” Aku pun menjawab,”Ada.” Kamu bertanya lagi,
“Mana?” Aku pun memperlihatkan dimana kusematkan bros mungil itu kepadamu,
“Nih.” “Seinget gw tadi bukan gw yang kehilangan bros,” pikirku. Aku paham
kalau kamu hanya mengecek bros milikku masih ada atau hilang juga seperti rekan
kita itu. Ah, perhatiannya.
>> Thirteen
Masih
pada sesi kumpul terakhir small group
kita sebelum Graduation. Trainer meminta kita untuk saling
berpegangan tangan dengan orang di sebelah kanan-kiri kita. Kamu menaruh tangan
di atas paha kananmu dengan posisi terbuka ke atas. Otomatis aku meletakkan
tanganku di atas tanganmu. Enak rasanya. Tanganmu lembut dan nyaman. Entah
mengapa aku menyukai kedua tangan kita bersatu seperti itu. Lalu kita diminta
untuk mendengarkan Trainer dan beberapa
lagu pun diputar. Kita pun diminta untuk ikut bernyanyi. Aku tidak begitu ingat
lagu apa yang sedang diputar, tetapi saat lirik kata ‘LOVE’ tanganmu meremas
tanganku lebih erat dan kembali mereda saat kata itu menghilang di telinga. Sontak
aku pun langsung mengernyitkan dahi dan tidak berani menengok karena bisa
menarik perhatian anggota lainnya. Aku tidak tahu apakah tangan kirimu juga
melakukan hal sama dengan tangan kanan Leader. Tapi perlakuanmu itu tak ayal
mengherankanku.
>> Fourteen
Juga
masih pada sesi kelas yang sama, kumpul small
group terakhir di kelas. Kamu memang duduk di sebelah kiriku. Selama kita
duduk melingkar itu, pastinya tidak akan ada keadaan kosong tanpa diisi oleh
suara Trainer atau kita diminta untuk
melakukan suatu hal. Tak ayal, kamu pun cukup sering jahil dan bercanda
terhadapku. Entah menyenggol lengan, kaki, lutut, atau paha. Dan kamu lebih
memilih untuk menyandarkan tangan kananmu di senderan kursiku. Karena
sepertinya itu lebih baik daripada kamu melakukannya ke sebelah kirimu).
Perilakumu itu terkadang dibumbui dengan komentar, “Hush”, “Sok tahu”, “Kan apa
dibilang”, “Hush berisik”, dsb ketika aku merespon kalimat yang dilontarkan
oleh Trainer, Leader, ataupun anggota
lainnya. Aku tidak terlalu Gede-Rasa karena memang sepertinya kamu tidak
menyukai keseluruhan program yang kita ikuti.
Pernah
suatu ketika, di sesi yang sama, Leader
membahas mengenai jadwal pertemuan selanjutnya. Setiap peserta diminta untuk
datang lagi dua kali setelah Graduation.
Pertama untuk mengikuti sesi pertemuan sebelum masuk ke kelas yang lebih
tinggi. Kedua untuk mengambil sertifikat sebagai bukti bahwa kita telah
mengikuti pelatihan. Dua jadwal itu sudah ditulis setiap peserta pada kertas
yang sudah disediakan. Ketika Leader
membahasnya, kita mengeluarkan lembar kertas jadwal tersebut. Leader pun mengkonfimasi ulang akan
jadwal kita masing-masing. Tak ayal kamu pun penasaran. “Lo kapan?” tanyamu.
Aku menjawab, “ALI nya Senen sore.” Sedangkan pengambilan sertifikat punya
jadwal yang sama dengan keseluruhan peserta. Kecuali sekumpulan peserta yang
didukung oleh perusahaan tempat mereka bekerja, bisa memilih ambil sediri atau
dikirim kolektif. “Coba liat,” tanyamu lagi ketika kertas jadwalku masih di
tangan. “Penasaran amat Mas,” pikirku.
Masih
berkaitan dengan penjelasan Leader
akan dua jadwal kembali lagi ke tempat pelatihan setelah Graduation, aku pun bertanya lebih detail kepada sang Leader. Aku lupa bahwa tempat pelatihan
ini mempunyai metode untuk menyerahkan semuanya kepada peserta walaupun memang
akan ada ‘embel-embel’ meminta kita untuk mengikuti kelas selanjutnya. “Jadi,
kalau sertifikat bisa sesuka kita tapi kalau ALI memang jadwalnya dari sini?
Aku lebih milih untuk dateng ambil sertifikat daripada ikut ALI. Boleh kan
kalau nggak ikut ALI?” tanyaku. “Menurut Elfi gimana?” tanya Leader berbalik. “Lho, sebenernya yang
diwajibkan ikut yang mana?” responku lebih ketus. “Terserah Elfi. Menurut Elfi
mana yang lebih baik?” ujar si Leader.
Aku pun tidak meresponnya kembali dan memilih untuk diam. Ketika aku
menyenderkan diri ke kursi, aku sadar bahwa kamu juga sedang menaruh lenganmu
pada kursiku. “I’ve told you,” bisikmu
padaku. Ketika aku bereaksi ingin berkomentar, kamu pun segera menambahkan,
“Dibilangin. Kan dibalikin lagi ke kita.” Kalau saja kita sedang tidak berada
pada lingkaran small group, ingin
rasanya membahas ini lebih tajam denganmu. Aku pun menyadari penilaianmu
terhadap lembaga ini. Dan aku akhirnya sepakat denganmu.
>> Fifteen
Itulah
kejadian-kejadian cukup aneh yang terjadi selama pelatihan berlangsung. Ketika
aku sedang kondisi penuh logika dan perasaan tidak bermain, aku pun merasa
wajar kalau kamu sepertinya menyukaiku. Kamu tidak suka akan program itu sama
sekali. Ketidaksukaanmu itu berbuah pada sikap cool dan cuek terhadap hampir semua peserta. Small group adalah satu-satunya wadah dimana kamu bisa bertemu
dengan orang lain secara lebih dekat. Dan diantara semua anggota kelompok kita,
aku salah satu orang yang bisa ‘nyambung’ denganmu. Kamu pun sempat bilang,
“Kalo sama lo atau *nt* sih oke-oke aja. Si *ea*ny juga nggak nyambung gw sama
dia. Apalagi *o*an, diem banget orangnya. Lainnya udah lebih berumur kan.” Well, aku pun mengiyakannya. Walaupun
aku merasa tidak enak kalau justru tidak begitu dekat dengan sesama jenis
seperti rekan wanita kita itu.
Komentar
itu pun kamu lontarkan ketika kita secara tidak sengaja bertemu di sebuah mall di Jakarta. Sebelumnya memang
kelompok kita berencana untuk kumpul lagi. Aku menyarankan kumpul di sebuah mall di daerah TB Simatupang karena
kebetulan pada tanggal yang sudah kita sepakati aku sedang ada project event di sana. Lalu tidak
di-iyakan karena di sana tidak ada lokasi bermain untuk anak kecil. Lalu tempat
berpindah ke sebuah mall di daerah
Casablanca Jakarta. Beberapa hari sebelum hari H, PIC event kantor memintaku
untuk terlibat secara full di mall
dekat TB Simatupang itu. Itu artinya aku bertugas selama dua hari penuh dan
tidak akan bisa ikut berkumpul dengan kalian. Aku pun mengabari kalian di
Multiple Chat BBM kelompok kita. Lalu akhirnya diundur lain waktu kalau satu
orang tidak bisa hadir. Rekan wanita kita itu mengundang ke acara ulang tahun
anaknya. Tidak ada jawaban pasti dari lainnya, aku pun hanya mengiyakan tanpa
janji.
Sampai
tiba akhirnya hari pertama aku bertugas di mall
itu. Siang hari, handphone ku sedang
aku charge di ruangan belakang
panggung. Dan aku tidak menyadari ada beberapa missed-call dari satu nomor.
Lalu ketika aku cek, ternyata kamu sedang bertanya di Multiple Chat kelompok
kita. “Lu dimana Fi?” chatmu. Aku pun terperanjat. “Gue di C*tos niiihhhhh.
Lupa sama muka lu…hahahahaa” chatmu lagi. Aku segera membalas. “Lo dimana?? Gw
di arena permainan B*b*sta* nyaaaa. Di daleemmm” chatku. “Gue di Starbucks
sebelah tempat lu niiihh.” Cukup panik karena muka ku sangat berminyak.
Untungnya aku selalu mengantongi kertas minyak. Seketika aku usap minyak di
muka ku ini dengan beberapa lembar kertas minyak berwarna biru yang sangat
terkenal itu. Aku pun keluar arena dan ke tempat yang kamu bilang. Aku pun
tidak menemukanmu. Aku chat lagi. “Lo di sebelah manaaa…???” chatku. Untuk
menunggu balasan darimu, aku memutuskan untuk duduk lagi di belakang panggung
arena. “Gue di Starbucks nyaaaa. Di luar. Deket banget sama tempat lo.” Aku pun
makin bingung karena sepertinya aku tidak melihatmu ketika ke sana. Aku pun
beranjak dan memutuskan untuk mengintip dari dalam arena terlebih dahulu.
Selain untuk tidak membuang waktu, juga ingin tahu dengan siapa kamu datang.
Kalau ternyata datang dengan pasanganmu, setidaknya aku sudah menyiapkan hati
terlebih dahulu supaya bisa tegar. Aku berhasil menemukanmu, walaupun jujur
agak sedikit lupa dengan wajahmu seperti apa pastinya. Tetapi ketika melangkah
lagi ke pintu masuk arena (yang lebih dekat dengan Starbucks), seorang MC yang
sudah menjadi bagian dari event
tahunan ini pun menghampiriku. Dia pun menyeretku kembali dekat dengan belakang
panggung. Ketika aku sudah hampir selesai pembicaraannya, aku pun segera keluar
ke tempatmu. Aku yakin kamu sempat melihatku diterjang wanita cantik yang
dikenal sebagai MC itu.
Yes,
dan kita pun kembali bertemu. Kamu semakin kurus menurutku. Tetapi tidak aku
lontarkan tanggapan itu. Aku menghampirimu dan kamu beranjak menghampiriku.
Kita mengobrol sembari berdiri dan aku bersender pada tiang dekat tangga.
Banyak yang kita obrolkan. Salah satunya tentang ketidaksediaanmu datang ke
acara ulang tahun anak rekan wanita itu. Kebanyakan pembicaraan tidak jauh dari
peserta pelatihan dan atau beberapa orang yang bertugas sebagai Leader. Sempat juga kamu bertanya
tentang tempat kerjaku, perusahaan yang bergerak di bidang apa, seperti apa,
menjanjikan atau tidak kalau bekerja di bidang itu. Pertanyaan kamu tentang
kesejahteraan karyawan seperti itulah yang memberikan kesan bahwa kamu memang
melihat orang dari status pekerjaannya. Tak ayal aku menjadi kurang percaya
diri untuk menjadi seorang yang istimewa di matamu. Sampai pada akhirnya kita
sempat membahas soal pasangan. Lupa tepatnya berawal dari mana, kamu sempat
berucap, “Kalau ada kenalan gitu Fi, boleh lah. Yang udah punya anak juga
boleh.” Sontak aku tertawa. “Hahahaaa satu paket ya kalau udah punya anak. Beli
1 gratis 1…hahahahaa.” “Iya dong.” “Emang udah pengen nikah banget lo ya”
tanyaku. “Iya lah. Lo emang nggak?” tanyamu berbalik. “Hahahahahaa iya sih.
Tapi masih nggak tau kapan,” ujarku. “Lho emang cowo lo?” tanyamu. “Hahahaaaaa”
tawaku kencang tapi berangsur lebih reda, “udah nggak usah dibahas deh soal
pasangan mah.” Komentarmu terakhir masih sangat jelas di benakku, “Tapi lo
jangan nikah duluan ya.” Sontak aku kaget, “Hahahahaa lho kok gitu.” “Iya,
jangan aja.” Aku lupa kita membahas apalagi. Dan akhirnya kamu pamit. “Eh, udah
sore juga nih. Gw mau cabut ya. Lo masih mau di sini, atau…” tanyamu sambil
melihat ke arena. Aku pun menjawab sembari mengangguk belakangmu (yaitu ke arah
storage dimana kebanyakan kru ada di
sana), “Nggak. Paling nanti sama anak-anak aja.” “Lo mau pesen nggak?” tanyamu
lagi sambil menunjuk ke dalam Starbucks. Aku langsung ingat pertama kalinya
kita ke Starbucks kamu mengeluarkan dana dan tidak ingin dikembalikan. Dan aku
tidak ingin merepotkan kamu lagi. “Nggak usah. Udah kok gw.” Kamu pun pamit
lagi, “Okeh. Duluan ya. Setidaknya gw udah ketemu sama lo.” Dan kamu pun menyodorkan
tangan. Kembali aku merasakan hal yang sama ketika pelatihan dulu. Tanganmu
lembut dan nyaman. Kamu pun berujar, “Nanti kontak-kontakan lagi ya.” Masih
menjabat tanganmu. “Oke, beres,” ujarku. “Good luck ya. Semoga makin sukses,”
tambahmu lagi masih belum melepaskan tanganku. Aku menjadi canggung dan
akhirnya kulepaskan tanganmu, “Lo juga. Ati-ati ya.” Kamu hanya tersenyum.
“Daahhh,” ujarku sambil melambaikan tangan satu kali. Aku pun kembali masuk ke
arena dari samping. Jujur masih gugup karena pertemuan itu.
Aku
pun akhirnya mengetahui bahwa semua kru sudah tidak ada di arena dan berkumpul
di storage dekat parkir outdoor. Aku bahagia dan selalu tertawa
saat sudah duduk dengan mereka. Mungkin kalau ada yang melihatku saat itu, akan
beranggapan bahwa aku bahagia di tengah kerumunan teman-teman laki-laki seperti
mereka. Aku satu-satunya perempuan di perkumpulan itu. Aku bahagia bukan karena
sedang bersama mereka, tetapi setelah berjumpa denganmu. Tak ayal aku selaku
berseloroh, “Kalau bukan lagi tugas kaya gini nih, gw lagi asik nge-date deh
ini.” Ketika aku bercerita kepada salah satu dari mereka tentang kamu dan
kejadian kamu datang ke mall itu, “Iya kan awalnya janjian di tempat lain.
Karena gw bilang gw ada tugas di sini eh jadinya batal deh. Trus tiba-tiba aja
BBM kalo lagi di sini. Lagi main ke sini. Itu juga dateng sama temen-temennya.”
Temanku itu malah melambungkanku, “Yakin tuh cuma main? Jauh lho Fi. Kantornya
di sana, tapi mainnya ke sini.” Oh Tuhanku.
>> Sixteen
Setelah
pertemuan tidak langsung di mall itu
pun membuatku semakin penasaran. Layaknya serial detektif yang sering aku baca,
aku pun menelusuri dan mencari tahu kebenaran akan fakta-fakta yang ada.
Akhirnya aku menemukan suatu informasi. Tanpa sepengetahuanmu, aku
mengetahuinya. Memang terkesan tidak sopan, tetapi aku lebih memilih itu supaya
lebih cepat. Terlalu lama untuk bisa mengetahui atau memuaskan penasaranku.
Jika hanya sekedar berkomunikasi denganmu via chat, itu masih kurang menurutku.
Chat pun selalu aku yang memulai. Walaupun aku penasaran, apakah kamu tertarik
padaku atau hanya teman biasa, tapi aku cukup lelah untuk selalu mulai chat
denganmu. Aku menemukan postingan kamu di sebuah media sosial. Pada tanggal di
awal masa pelatihan itu, kamu memposting, “(Pelatihan) ama temen (wanita) baru…
Scr gue termasuk orang yg pemalu… ;)” dan berlokasi di Starbucks tempat kita
pernah kumpul saat sesi istirahat. Aku ingat kamu dulu pernah bilang sering ke
tempat itu selama masa pelatihan. Dan aku pun tidak tahu pasti apakah tanggal
postingan itu saat kita kumpul atau memang saat kamu sendiri di sana. Postingan
itu sontak membuatku berdebar. Siapa gerangan peserta wanita yang kamu maksud?
Seingatku, saat di pelatihan sepetinya tidak banyak bergaul karena kebanyakan
peserta menjulukimu sebagai ‘Mr. Cool’. Yah, aku putuskan untuk tetap memupuk
perasaan ini. Aku pun bertahan untuk tidak lagi memulai chat sebelum kamu yang
memulai. Aku stalk akun sosial media
milikmu untuk mengetahui kabar terbaru darimu. Pengecut? Memang. Karena aku
hanya wanita yang memang tidak ditakdirkan untuk menjadi seorang yang
pemberani.
>> Seventeen
Sepertinya
kamu juga sedang jatuh cinta dengan seorang muslimah berjilbab. Status BBM dan
foto-foto yang kamu unggah kebanyakan tentang pasangan muslim-muslimah. Begitu
pula dengan lagu-lagu yang kamu posting, mengisyaratkan kalau kamu sedang jatuh
cinta. Hal itu membuatku bertahan. Gede-Rasa? Iya memang. Kalau kamu memiliki
perasaan yang sama, maka kamu adalah orang terakhir dalam hatiku. Aku mau kamu
yang menjadi pasangan hidupku.
Pertama
kalinya kamu memulai chat adalah dengan mengirimkan ‘purple message’ yang lebih
dikenal dengan Broadcast Message. Isi chat nya pun sangat singkat, hanya : TC
(singkatan dari Test Contact). Saat
itu hari Sabtu malam sekitar jam setengah sembilan kalau tidak salah. Foto profile mu saat itu adalah seorang
wanita yang sedang memeluk sosok laki-laki yang tengah sekarat. Aku tahu bahwa
kamu sedang berduka. Status-statusmu dari hari Jumat sebelumnya sudah menggambarkannya.
Aku pun tidak langsung merespon. Alasannya karena tidak ingin terlihat
menggebu. Aku membalasnya hampir tengah malam. Entah kenapa aku menduga bahwa
sebenarnya kamu ingin aku merespon foto profile
mu itu. Aku pun menanyakannya. Sosok itu siapa, kenapa, bagaimana. Kamu pun
mengatakan kalau beliau sudah tiada dan sosok itu adalah Opungmu. Aku hanya
mengucapkan bela sungkawa. Hanya itu komunikasi kita. Aku tidak tahu, apakah
hanya aku anak pelatihan yang kamu kirim Broadcast Message itu atau ada wanita
lain (selain lulusan pelatihan kita) juga.
>> Eighteen
Kamu
masih menjadi pangeran dalam hatiku. Hampir semua sahabatku tahu tentang
dirimu, bagaimana perasaanku, dan segalanya. Tetapi semua berakhir. Kebiasaanku
stalk akun sosial mediamu membuatku
sakit ditampar kenyataan pahit. Kenyataan bahwa kamu jatuh cinta dengan yang
lain. Dia pun wanita muslimah berjilbab yang memang jauh lebih modis, cantik,
dan trendy daripadaku. Dia memiliki tata bahasa yang bagus (maaf karena
akhirnya aku stalk akun sosial media
miliknya juga setelah kumengetahuinya) dan tidak mudah mengumbar emosinya. Dan
sepertinya dia juga sedang jatuh cinta pada seorang pria. Dari akun sosial
media kalian berdua, aku pun akhirnya mengetahui bahwa kalian cukup sering
bepergian bersama. Dan kamu pun sepertinya cukup sering mengunjungi kota dimana
dia tinggal. Dia pun memiliki pekerjaan impian yang (hampir) semua orangtua
banggakan, dengan kualitas diri yang sepertinya layak diacungi jempol. Aku
mundur. Aku kecewa. Aku terluka saat mengetahui kamu bukanlah untukku. Semoga
kalian berdua bahagia. Dan semoga aku segera menemukan pangeran lainnya yang
bisa membuatku bahagia. Walaupun memang sangat teramat sulit untuk menghapusmu
dari hatiku. Karena entah mengapa aku yakin bahwa kamu adalah yang terakhir
untukku.
.......